Tuesday, 10 November 2020

Kisah Sahabat Nabi, Khalifah Ali Bin Abi Thalib

Khalifah Ali bin Abi Thalib dilahirkan di Mekkah, daerah Hejaz, Jazirah Arab, pada tanggal 13 Rajab. Menurut sejarawan, Ali dilahirkan 10 tahun sebelum dimulainya kenabian Nabi Muhammad SAW, sekitar tahun 599 Masehi atau 600 (perkiraan). Usia Ali terhadap Nabi Muhammad masih diperselisihkan hingga kini, sebagian riwayat menyebut berbeda 25 tahun, ada yang berbeda 27 tahun, ada yang 30 tahun bahkan 32 tahun.

Beliau bernama asli Haydar bin Abu Thalib, paman Nabi Muhammad SAW. Haydar yang berarti singa adalah harapan keluarga Abu Thalib untuk mempunyai penerus yang dapat menjadi tokoh pemberani dan disegani di antara kalangan Quraisy Mekkah. Setelah mengetahui sepupu yang baru lahir diberi nama Haydar, Nabi Muhammad SAW memanggil dengan Ali yang berarti tinggi (derajat di sisi Allah), seperti yang dilansir dari islami.co.

Kehidupan Awal

Ali dilahirkan dari ibu yang bernama Fatimah binti Asad, dimana Asad merupakan anak dari Hasyim, sehingga menjadikan Ali, merupakan keturunan Hasyim dari sisi bapak dan ibu. Kelahiran Ali bin Abi Thalib banyak memberi hiburan bagi Nabi Muhammad SAW karena beliau tidak punya anak laki-laki.

Uzur dan faqirnya keluarga Abu Thalib memberi kesempatan bagi Nabi Muhammad SAW bersama istri beliau Khadijah untuk mengasuh Ali dan menjadikannya putra angkat. Hal ini sekaligus untuk membalas jasa kepada Abu Thalib yang telah mengasuh Nabi sejak beliau kecil hingga dewasa, sehingga sedari kecil Ali sudah bersama dengan Nabi Muhammad SAW.

Masa Remaja

Ketika Nabi Muhammad SAW menerima wahyu, riwayat-riwayat lama seperti Ibnu Ishaq menjelaskan Ali adalah lelaki pertama yang mempercayai wahyu tersebut atau orang ke 2 yang percaya setelah Khadijah istri Nabi sendiri. Pada titik ini Ali berusia sekitar 10 tahun.

Pada usia remaja setelah wahyu turun, Ali banyak belajar langsung dari Nabi Muhammad SAW karena sebagai anak asuh, berkesempatan selalu dekat dengan Nabi hal ini berkelanjutan hingga beliau menjadi menantu Nabi. Hal inilah yang menjadi bukti bagi sebagian kaum Sufi bahwa ada pelajaran-pelajaran tertentu masalah ruhani (spirituality dalam bahasa Inggris atau kaum Salaf lebih suka menyebut istilah ‘Ihsan’) atau yang kemudian dikenal dengan istilah tasawuf yang diajarkan Nabi khusus kepada beliau tapi tidak kepada murid-murid atau sahabat-sahabat yang lain.

Karena bila ilmu Syari’ah atau hukum-hukum agama Islam baik yang mengatur ibadah maupun kemasyarakatan semua yang diterima Nabi harus disampaikan dan diajarkan kepada umatnya, sementara masalah rohani hanya bisa diberikan kepada orang-orang tertentu dengan kapasitas masing-masing.

Didikan langsung dari Nabi Muhammad SAW kepada Ali dalam semua aspek ilmu Islam baik aspek zhahir (exterior) atau syariah dan batin (interior) atau tasawuf menggembleng Ali menjadi seorang pemuda yang sangat cerdas, berani dan bijak.

Kehidupan di Mekkah sampai Hijrah ke Madinah

Ali bersedia tidur di kamar Nabi Muhammad SAW untuk mengelabui orang-orang Quraisy yang akan menggagalkan hijrah Nabi. Beliau tidur menampakkan kesan Nabi Muhammad SAW yang tidur sehingga masuk waktu menjelang pagi mereka mengetahui Ali yang tidur, sudah tertinggal satu malam perjalanan oleh Nabi yang telah meloloskan diri ke Madinah bersama Abu Bakar.

Kehidupan di Madinah

Setelah masa hijrah dan tinggal di Madinah, Ali dinikahkan Nabi Muhammad SAW dengan putri kesayangannya Fatimah az-Zahra. Nabi menimbang Ali yang paling tepat dalam banyak hal seperti nasab keluarga yang se-rumpun (Bani Hasyim), yang paling dulu mempercayai ke-nabi-an Muhammad (setelah Khadijah), yang selalu belajar dibawa Nabi dan banyak hal lain.

Julukan

Ali bin Abi Thalib diberi gelar ‘Karramallahu Wajhah’ yang artinya semoga Allah memuliakan wajahnya. Berdasarkan riwayat bahwa Beliau tidak suka menggunakan wajahnya untuk melihat hal-hal buruk bahkan yang kurang sopan sekalipun.

Dalam sebagian riwayat disebutkan beliau tidak suka memandang ke bawah bila sedang berhubungan intim dengan istri. Sedangkan riwayat-riwayat lain menyebutkan dalam banyak pertempuran, apabila pakaian musuh terbuka bagian bawah terkena sobekan pedangnya , maka Ali enggan meneruskan duel hingga musuhnya lebih dahulu memperbaiki pakaiannya.

Ali bin Abi Thalib dijadikan oleh kaum sufi sebagai Imam dalam ilmu al-hikmah. Dari Beliau bermunculan cabang-cabang tarekat (thoriqoh). Hampir seluruh pendiri tarekat Sufi adalah keturunan dia sesuai dengan catatan nasab yang resmi mereka miliki.

Seperti tarekat Qadiriyah dengan pendirinya Syekh Abdul Qadir Jaelani, yang merupakan keturunan langsung dari Ali melalui anaknya Hasan bin Ali seperti yang tercantum dalam kitab manaqib Syekh Abdul Qadir Jailani (karya Syekh Ja’far Barzanji) dan banyak kitab-kitab lainnya.

Pertempuran yang diikuti pada masa Nabi Muhammad SAW

Perang Badar

Beberapa saat setelah menikah, pecahlah perang Badar, perang pertama dalam sejarah Islam. Di sini Ali betul-betul menjadi pahlawan disamping Hamzah, paman Nabi. Banyaknya Quraisy Mekkah yang tewas di tangan Ali masih dalam perselisihan, tapi semua sepakat beliau menjadi bintang lapangan dalam usia yang masih sangat muda sekitar 25 tahun.

Perang Khandaq

Perang Khandaq juga menjadi saksi nyata keberanian Ali bin Abi Thalib ketika memerangi Amar bin Abdi Wud . Dengan satu tebasan pedangnya yang bernama dzulfikar, Amar bin Abdi Wud terbelah menjadi dua bagian.

Perang Khaibar

Setelah Perjanjian Hudaibiyah yang memuat perjanjian perdamaian antara kaum Muslimin dengan Yahudi, dikemudian hari Yahudi mengkhianati perjanjian tersebut sehingga pecah perang melawan Yahudi yang bertahan di Benteng Khaibar yang sangat kokoh, biasa disebut dengan perang Khaibar. Di saat para sahabat tidak mampu membuka benteng Khaibar, Nabi saw bersabda:

“Besok, akan aku serahkan bendera kepada seseorang yang tidak akan melarikan diri, dia akan menyerang berulang-ulang dan Allah akan mengaruniakan kemenangan baginya. Allah dan Rasul-Nya mencintainya dan dia mencintai Allah dan Rasul-Nya”.

Maka, seluruh sahabat pun berangan-angan untuk mendapatkan kemuliaan tersebut. Namun, temyata Ali bin Abi Thalib yang mendapat kehormatan itu serta mampu menghancurkan benteng Khaibar dan berhasil membunuh seorang prajurit musuh yang berani bernama Marhab lalu menebasnya dengan sekali pukul hingga terbelah menjadi dua bagian.

Peperangan lainnya

Hampir semua peperangan beliau ikuti kecuali perang Tabuk karena mewakili Nabi Muhammad SAW untuk menjaga kota Madinah.


Sebagai khalifah

Pada akhir masa pemerintahan Umar bin Khattab, Ali termasuk salah seorang yang ditunjuk menjadi anggota Majlis As-Syura, forum yang membahas penggantian khalifah. Forum ini beranggotakan enam orang. Kelima orang lainnya adalah Utsman bin Affan, Talhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Sa’d bin Abi Waqqas, dan Abdur Rahman bin Auf. Hasil musyawarah menentukan Usman bin Affan sebagai khalifah pengganti Umar bin Khattab.

Pada masa pemerintahan Utsman bin Affan, Ali banyak mengkritik kebijaksanaannya yang dinilai terlalu memperhatikan kepentingan keluarganya. Ali menasihatinya agar bersikap tegas terhadap kaum kerabatnya yang melakukan penyelewengan dengan mengatasnamakan dirinya. Namun, nasihat itu tidak diindahkannya.

Akibatnya, terjadilah peristiwa berdarah yang berakhir dengan terbunuhnya Sayyidina Utsman di tangan para Khawarij (kaum pemberontak).

Kritik Ali terhadap Utsman antara lain menyangkut Ubaidillah bin Umar, yang menurut Ali harus dihukum hadd (hukuman dalam fiqih) sehubungan dengan pembunuhan yang dilakukannya terhadap Hurmuzan. Utsman juga dinilai keliru ketika tidak melaksanakan hukuman cambuk terhadap Walib bin Uqbah yang kedapatan mabuk.

Cara Utsman memberi hukuman kepada Abu Zarrah juga tidak disetujui Ali. Utsman meminta bantuan kepada Ali ketika ia sudah dalam keadaan terdesak akibat protes dan huru-hara yang dilancarkan oleh orang-orang yang tidak setuju kepadanya. Ketika rumah Utsman dikepung oleh kaum pemberontak, Ali memerintahkan kedua putranya Hasan dan Husein untuk melindungi Utsman. Akan tetapi karena pemberontak berjumlah banyak, Utsman tidak dapat diselamatkan.

Setelah terbunuhnya Sayyidina Utsman, kaum muslimin meminta kesediaan Ali untuk dibaiat (janji setia) menjadi khalifah. Mereka beranggapan tidak ada lagi orang yang patut menduduki kursi khalifah setelah Utsman, kecuali Sayyidina Ali.

Dalam suasana yang masih kacau, akhirnya Ali dibaiat. Pembaiatan dimulai oleh sahabat-sahabat besar, yaitu Talhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Sa’d bin Abi Waqqas, dan para sahabat lainnya pada tanggal 25 Zulhijah 33 Hijriyah di Masjid Madinah.

Setelah dibaiat, Ali mengambil langkah-langkah politik, yaitu, memecat para pejabat yang diangkat Utsman, termasuk di dalamnya beberapa gubernur, dan menunjuk penggantinya. Mengambil tanah yang telah dibagikan Utsman kepada keluarga dan kaum kerabatnya tanpa alasan kedudukan sebagai khalifah sampai terbunuh pada tahun 661.

Pemberontakan ketiga datang dari kaum Khawarij, yang semula merupakan bagian dari pasukan Ali dalam menumpas pemberontakan Mu’awiyah, tetapi kemudian keluar dari barisan Ali karena tidak setuju atas sikap Ali yang menerima tawaran berdamai dari pihak Mu’awiyah.

Karena mereka keluar dari barisan Ali, mereka disebut ‘Khawarij’ (orang-orang yang keluar). Jumlah mereka ribuan orang. Dalam keyakinan mereka, Ali adalah Amirul Mukminin dan mereka yang setuju untuk bertahkim telah melanggar ajaran agama. Menurut mereka, hanya Tuhan yang berhak menentukan hukum, bukan manusia.

Ali dan sebagian pasukannya dinilai membuat keputusan keliru, yaitu berunding dengan lawan. Kelompok Khawarij menyingkir ke Harurah, sebuah desa dekat Kufah. Mereka mengangkat pemimpin sendiri, yaitu Syibis bin Rub’it at-Tamimi sebagai panglima angkatan perang dan Abdullah bin Wahhab Ar-Rasibi sebagai pemimpin keagamaan.

Posisi Ali pun menjadi serba sulit. Di satu pihak, ia ingin menghancurkan Mu’awiyah yang semakin kuat di Syam. Di pihak lain, kekuatan Khawarij menjadi sangat berbahaya jika tidak segera ditumpas. Akhirnya Ali mengambil keputusan untuk menumpas kekuatan Khawarij terlebih dahulu, baru kemudian menyerang Syam. Tetapi tercurahnya perhatian Ali untuk menghancurkan kelompok Khawarij dimanfaatkan Mu’awiyah untuk merebut Mesir.

Pertempuran sengit antara pasukan Ali dan pasukan Khawarij terjadi di Nahrawan (di sebelah timur Baghdad) pada tahun 658, dan berakhir dengan kemenangan di pihak Ali. Kelompok Khawarij berhasil dihancurkan, hanya sebagian kecil yang dapat meloloskan diri. Pemimpin mereka, Abdullah bin Wahhab ar-Rasibi, ikut terbunuh.

Sejak itu, kaum Khawarij menjadi lebih radikal. Kekalahan di Nahrawan menumbuhkan dendam di hati mereka.

Secara diam-diam kaum Khawarij merencanakan untuk membunuh tiga orang yang dianggap sebagai biang keladi perpecahan umat, yaitu Ali, Mu’awiyah, dan Amr bin As. Pembunuhnya ditetapkan tiga orang, yaitu: Abdurrahman bin Muljam ditugaskan membunuh Ali di Kufah, Barak bin Abdillah at-Tamimi ditugaskan membunuh Mu’awiyah di Syam, dan Amr bin Bakar at-Tamimi ditugaskan membunuh Amr bin As di Mesir.

Hanya Ibnu Muljam yang berhasil menunaikan tugasnya. Ia membunuh Ali dengan pedangnya ketika Ali salat subuh di Masjid Kufah. Sayyidina Ali mengembuskan nafas terakhir sebagai khalifah pada 21 Ramadan 40 Hijriyah (29 Januari 661). Beliau terluka oleh pedang yang diracuni Abdurrahman bin Muljam.

Dia terluka oleh pedang yang diracuni oleh Abdurrahman bin Muljam saat ia sedang bersujud ketika sholat subuh. Ali memerintahkan anak-anaknya untuk tidak menyerang orang Khawarij tersebut, Ali malah berkata bahwa jika dia selamat, Abdurrahman bin Muljam akan diampuni sedangkan jika dia meninggal, Abdurrahman bin Muljam hanya diberi satu pukulan yang sama (terlepas apakah dia akan meninggal karena pukulan itu atau tidak).

Ali memiliki delapan istri setelah meninggalnya Fatimah az-Zahra dan memiliki keseluruhan 36 orang anak. Dua anak laki-lakinya yang terkenal, lahir dari anak Nabi Muhammad, Fatimah, adalah Hasan dan Husain.

Keturunan Ali melalui Fatimah dikenal dengan Syarif atau Sayyid, yang merupakan gelar kehormatan dalam Bahasa Arab, Syarif berarti bangsawan dan Sayyed berarti tuan. Sebagai keturunan langsung dari Muhammad, mereka dihormati oleh Sunni dan Syi’ah.

Menurut riwayat, Ali bin Abi Thalib memiliki 36 orang anak yang terdiri dari 18 anak laki-laki dan 18 anak perempuan. Sampai saat ini keturunan itu masih tersebar, dan dikenal dengan Alawiyin atau Alawiyah. Sampai saat ini keturunan Ali bin Abi Thalib kerap digelari Sayyid.

No comments:

Post a Comment